Lusiana Natali Simanjuntak,
,

Sabtu, 16 April 2011

Kasus tidak Konsistennya Penegakan Hukum di Indonesia


Sekali lagi, penegakan hukum di Indonesia mengalami ujian berat. Kampanye pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi tidak beda dengan kampanye pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Kehilangan konsistensi ketika yang diduga terlibat korupsi itu adalah pejabat tinggi.  Akhir-akhir ini terbetik berita adanya ada beberapa pejabat tinggi dianggap terlibat dalam dugaan tindak pidana pencairan uang di bank luar negeri. Uang tersebut asal usulnya tidak jelas, tetapi para pejabat penegak hukum para pemimpin lainnya sepertinya diam seribu bahasa. Bahkan, belum apa-apa sudah ada pejabat yang berkomentar bahwa tidak ada tindak pidana. Karena itu para pejabat penegak hukum di negeri ini yang sudah ragu akan menjadi lebih ragu lagi.  Diskriminasi penegakan hukum di negeri ini memang berjalan terus, sehingga sangat mengganggu konsistensi penegakan hukum, khususnya bagi para penegak hukum. Contoh paling konkret adalah ketika business tycoon Anthony Salim yang diperiksa dalam penjualan aset negara eks BLBI diperlakukan sangat istimewa oleh para penyidik dari Mabes Polri.  Ia diperiksa di Hotel Dharmawangsa yang mewah, Kemudian, karena diberitakan pers, maka berpindah pemeriksaannya ke Mabes Polri. Tetapi dia tetap diberi privilege untuk masuk dari pintu depan kantor Mabes Polri yang biasanya hanya digunakan untuk para perwira Polri. Belum lagi baru-baru ini dia diundang ke Istana Merdeka untuk peluncuran buku suatu yayasan di mana dia duduk sebagai salah satu pendiri yayasan tersebut. Bahkan dia sempat difoto dengan SBY dan JK.
 Kembali peristiwa ini menjadi penghalang atau paling tidak mengganggu penegakan hukum. Beberapa hari kemudian terbetik berita di media dalam dengar pendapat di Komisi III bahwa perkara Anthony Salim akan di-SP3-kan. Rumor tentang Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3)ini menjadi kenyataan. Padahal sampai sekarang ada 16.000 perkara BLBI yang diselesaikan melalui MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRNIA (Master Refinancing and Notes Issues Agreement), suatu perangkat perjanjian antara debitur dan pemerintah waktu itu (1998) untuk menyelesaikan utang debitur pascakrisis moneter 1998. Sepuluh tahun sudah berlalu, masalah ini tetap saja menjadi duri dalam daging bagi setiap pemerintahan di Indonesia. Padahal, kalau waktu itu diselesaikan secara hukum paling lama memakan waktu 3-5 tahun di semua tingkat. Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) yang bersifat pidana dihilangkan dengan MSAA yang tidak dikenal konsepnya dalam sistem hukum Indonesia, dalam hal ini hukum pidana. 
Apalagi kemudian diketahui asset recovery ini tidak diserahkan semuanya kepada negara, dan malahan ada yang sempat dijaminkan kepada lembaga keuangan bank dan nonbank. Andaikata waktu itu pelanggar BMPK diselesaikan melalui proses pidana dan asset para debitur disita oleh negara, maka persoalan sudah lama selesai. Efek jera yang luar biasa juga dapat terjadi, sehingga semua debitur BLBI miris untuk tidak menyelesaikan utangnya dan menyerahkan seluruh asset yang dimilikinya untuk dibebaskan dari utang.  Akibat dari MSAA dan MRNIA ini masih bisa diperbaiki kalau pemerintah tegas dan menindak secara hukum semua debitur "nakal". Tetapi apa yang kita lihat adalah peragaan karpet merah bagi para debitur "kakap". Suatu preseden buruk dalam penegakan hukum dan kampanye pemberantasan korupsi. 
Konsistensi penegakan hukum dan tidak diberlakukannya keistimewaan bagi para debitur BLBI adalah syarat mutlak yang harus ditempuh dalam upaya pemberantasan korupsi ke depan ini. Tanpa kekonsistenan dan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum, niscaya program pemberantasan korupsi tak akan berhasil. Ini berlaku bagi pemerintahan sekarang maupun pemerintahan kemudian.  Pemerintahan Lee Kuan Yew selalu dijadikan contoh dan model pemberantasan korupsi ke titik yang paling rendah melebihi Inggris sebagai negara bekas kolonial Singapura. Tidak perduli menteri dalam kabinetnya, teman seperjuangan, seideologi dan lain-lain, kalau mereka terlibat korupsi akan diproses secara hukum.  Jangankan bertemu, sejak adanya dugaan korupsi Lee menolak bertemu dengan si tersangka atau calon tersangka. Asas praduga tidak bersalah diberlakukan dan diterapkan secara konsekuen dan konsisten, bukan saja tidak melindungi tetapi juga tidak memojokkan para tersangka atau calon tersangka. Supremasi hukum dihormati.  Apa yang kita lihat sekarang di Indonesia adalah penerapan standar ganda bagi orang-orang yang berkuasa atau dekat dengan kekuasaan. Mereka diberi privilege. Tetapi orang-orang yang berseberangan secara politik, tidak seideologi, apalagi tidak mempunyai kekuasaan atau tidak dekat dengan kekuasaan, segera diproses hukum, ditangkap, dituntut dan kemudian diadili. Kampanye antikorupsi yang begitu santer digembar-gemborkan pada permulaan pemerintahan SBY hanya akan berhasil kalau ada konsistensi dalam penegakan hukum. Tanpa adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum, maka program pemberantasan korupsi hanyalah menjadi wacana saja dan tidak akan menjadi kenyataan.
 

 Kasus Gayus Tambunan

 Ada yang menarik dalam persidangan kasus Gayus Tambunan (22/12) kemarin, di luar tuntutan jaksa yang luar biasa yaitu 20 tahun penjara untuk sang terdakwa. Gayus mengatakan bahwa dia tidak terlalu kaget dengan tuntutan itu, karena sekarang dirinya tidak mengurusi para jaksa. Berbeda dengan sidang pertamanya di Tangerang dulu, ketika dia hanya dituntut satu tahun percobaan, karena jaksa "ada yang mengurusi."
Sungguh sindiran yang mengena terhadap kebobrokan sistem hukum kita. Dan cukup menyedihkan bahwa untuk mengetahui fakta yang sudah menjadi rahasia umum tersebut, kita mendengarnya dari mulut orang yang dianggap sebagai salah satu penjahat terbesar sekarang ini. Bukan hal yang menyenangkan tentu saja, tetapi apa boleh buat. Para penegak hukum, ahli hukum dan anggota parlemen yang seharusnya mendidik rakyat agar taat hukum justru berkontribusi pada sistem yang rapuh itu, dan dari mereka kita tidak pernah menerima jawaban jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Jawaban standar dari para punggawa hukum adalah kita bertindak sesuai hukum dan aturan yang ada, karena Indonesia adalah negara hukum. Tetapi fakta yang banyak kita dengar, tindakan hukum bergantung pada berapa bayarannya. Atau seperti kata Gayus, diurus atau tidaknya para aparat hukum. Inilah salah satu penyebab terbesar dari rapuhnya sistem hukum kita, dengan akibat nyata yaitu inkonsistensi tuntutan jaksa atau putusan hakim. Hukum yang terbeli pasti bersifat diskriminatif dan tidak adil, padahal hukum diciptakan untuk memberantas diskriminasi dan menegakkan keadilan. Semua orang sama di muka hukum.
Jaksa yang menuntut Gayus dalam sidang pertama di Tangerang dan yang kedua di Jakarta memang berbeda orangnya, tetapi mereka mewakili insititusi, atau bahkan bisa disebut sebagai pengacara negara. Tetapi dalam kasus yang sama melawan orang yang sama, yaitu Gayus, negara menuntut dua kaliyang pertama satu tahun percobaan, yang kedua 20 tahun penjara. Sistem hukum macam apa ini?
Kekacauan sistem ini terjadi pasti karena ulah operatornya. Kalau sistemnya benar dan berjalan baik, tuntutan 20 tahun itu mungkin sudah disampaikan di sidang pertama, dan tidak perlu ada sidang kedua. Sekarang, Gayus bahkan bisa disidang sampai empat kali. Dia bisa disidang kembali karena menerima suap, dan yang ke empat karena meninggalkan selnya untuk jalan-jalan ke Bali.
Empat kali sidang untuk seorang Gayus! Padahal sistem hukum kita mendorong penanganan perkara yang berbiaya murah, efektif dan efisien. Semua orang melihat Gayus sebagai penjahat besarnya, dan melupakan para aparat yang bermain di belakang kasusnya dan justru merusak tatanan hukum yang mestinya mereka jaga. Dan kalau kita perhatikan, para penegak hukum yang diperkarakan bersama Gayus hanya mereka yang berpangkat rendah, kecuali yang membebaskan Gayus dulu. Anehnya lagi, belum satu pun jaksa yang dituduh menerima suap dari Gayus, padahal cukup jelas petunjuknya tuntutan yang cuma satu tahun percobaan dan pengakuan Gayus bahwa dia membayar jaksa sekitar Rp5 miliar lewat pengacaranya.
Dari kasus Gayus saja kita bisa berkaca betapa tidak konsistennya hukum di Indonesia, padahal kemungkinan besar masih banyak Gayus-Gayus lain yang sedang berperkara hukum. Yang menjadi masalah terbesar kita, kasus Gayus menjadi skandal karena akhirnya ketahuan, jadi kalau tidak ketahuan dia masih bebas dari dakwaan. Selama mental dan integritas aparat tidak diperbaiki, sistem hukum yang kacau injakan ialan terus, terutama jika penyimpangan yang mereka lakukan tidak terendus oleh publik. Reformasi bidang hukum memang harga mati dan harus segera dijalankan.



Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar